Penulis: Rahmat Wijaya
Sederet tokoh-tokoh dari kalangan muda tampil menjadi pemimpin. Fenomena ini ditandai dengan tergerus nya ketokohan maupun pengaruh kepemimpinan kaum tua. Kemunculan pemimpin-pemimpin muda visioner ini menjadi penanda atas jawaban penantian panjang diinginkan di era kekinian.
Di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi misalnya, lahirnya sejumlah kepala daerah termuda seperti Gibran Rakabuming Raka (Wali Kota Solo), Mochammad Nur Arifin (Bupati Trenggalek), Saidi Mansyur (Bupati Banjar, Kalimantan Selatan), Adnan P. Ichsan (Bupati Gowa, Sulawesi Selatan), Panca Wijaya Akbar (Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan), M. Yusran Lalogau (Bupati Pangkajene dan Kepulauan, Sulsel) hingga Rezita Meylani Yopi (Bupati Indragiri Hulu, Riau) adalah deretan wali kota dan bupati termuda tahun 2023 yang menjadi bukti hadirnya era baru kepemimpinan kaum muda.
Memang, kalau dicermati, tokoh-tokoh pemimpin muda yang baru saja disebutkan di atas jarang muncul dari kawasan timur Indonesia seperti Maluku-Maluku Utara dan Papua. Ini cukup dimengerti, mengingat tradisi kepemimpinan di wilayah timur sangat memegang erat tradisi sesepuh.
Hal ini membuat rotasi estafet kepemimpinan masih belum sedinamis di wilayah tengah maupun barat Indonesia. Namun, pergeseran citra kepemimpinan ini bukanlah sebuah proses yang ekslusif, apalagi isolatif, seakan hanya terjadi di belahan Indonesia barat dan tengah saja. Melainkan, ini sebuah fenomena holistik-integral, di mana cepat atau lambat akan segera merambat ke tempat lain, termasuk dalam hal ini di wilayah Maluku-Maluku Utara dan Papua.
Tentu, pembacaan pola situasional kepemimpinan ini dilandasi oleh sejumlah fakta dan data, alias tidak datang begitu saja bak menanti gerhana setelah menghilang sekian purnama. Dengan kata lain, sejumlah penyebab menjadi alasan kuat terjadinya pola pergerseran kepemimpinan tersebut.
Pertama, banyaknya kasus, terutama korupsi yang menjerat para pemimpin tua. Banyak Kaum Tua Terjerat Korupsi Sejak reformasi digulirkan, tampuk kekuasaan tidak lagi tersentral pada keluarga besar Cendana. Ia mulai menyebar dan memberi kesempatan bagi semua kalangan untuk mengisi kursi-kursi lowong pasca otoritarianisme Suharto.
Namun, yang disayangkan, kesempatan terbaikku itu gagal dimanfaatkan generasi muda yang tidak terikat dengan sejarah masa kelam. Akhirnya ruang kosong itu justru kembali diisi oleh kaum-kaum tua yang notabene memiliki pertalian historis dengan kepemimpinan sebelumnya. Momentum emas bagi kepemimpinan muda sekejap menjadi hilang.
Hari berganti, musim berlalu, semua berjalan sesuai takdir sosial. Bahwa patahan sejarah yang tidak sempat terselamatkan itu kini mulai rapuh. Korupsi menjadi titik awal runtuhnya legitimasi kepemimpinan kaum tua yang ceroboh. Kita masih ingat bagaimana daya destruksi yang ditimbulkan imbas dari mega korupsi Hambalang yang menyeret sejumlah petinggi partai dan pejabat negara.
Tidak berhenti di situ, kasus BLBI hingga E-KTP juga mewarnai megakorupsi pascareformasi yang mengoyak-koyak citra kepemimpinan kaum tua itu sendiri. Belakangan, kasus korupsi ASABRI hingga Jiwasraya juga turut memperburuk citra kepemimpinan di era Reformasi. Bahkan, yang buat miris, lebih dari ratusan kepala daerah terbukti melakukan praktik korupsi pascareformasi.
Menariknya, mayoritas pelakunya adalah para pemimpin-pemimpin tua itu sendiri.
Peristiwa korupsi yang menyeret sejumlah pejabat dan kepala daerah ini tentu menarik untuk ditilik, menimbang fenomena ini merupakan penanda penting munculnya era baru kepemimpinan. Apa yang dialami generasi tua di ujung masa jaya kepemimpinan mereka ini persis seperti yang disinggung sejarawan Lord Acton bahwa kekuasaan punya potensi untuk korup, karenanya, kekuasaan yang terlalu lama (absolut) akan cenderung korupsi secara absolut pula.
Dalil tersebut sepintas dianggap biasa saja, namun inilah fakta yang melanda generasi tua kita. Bahwa kekuasaan yang terlalu lama membuat mereka terlena bahkan serakah. Akhirnya, kekuasaan pula yang menjerumuskan mereka ke dasar kenistaan.
Bahaya “Pembisik” Kuasa
Runtuhnya trah kepemimpinan gen tua ini bukan lah sesuatu yang kebetulan. Ia dimulai dari orang-orang di lingkar kekuasaan.
Penulis menyebut mereka sebagai pembisik berbisa yang amat berbahaya. Orang-orang di lingkar kekuasaan ini bisa berbagai rupa dengan latar yang berbeda. Apakah mereka businessman, saudara, kerabat, aktor intelektual ataupun para pesuruh kekuasaan. Mereka inilah yang pada faktanya mendikte kebijakan dan seluruh agenda kekuasaan baik di pusat maupun daerah. Sekilas, orang-orang ini tidak akan pernah terlihat dengan pandangan mata, karena cara kerja mereka yang sangat misterius dan luput dari sorotan layar kaca.
Kendati demikian, memandang sebelah orang-orang ini tentu sesuatu yang keliru bahkan membahayakan bagi pemerintahan yang ada. Tulisan ini sengaj dibuat untuk mengajak seluruh pembaca, kembali merenung dan memikirkan ulang terkait dinamika politik dan pemerintahan yang terjadi, khususnya di aras lokal.
Sebab, jika membiarkan situasi ini terus berlarut, bukan tidak mungkin, mengharapkan lahirnya kebijakan berkualitas ataupun pelayanan bermutu dari setiap pemimpin yang lahir dari rahim demokrasi gagal terwujud.
Salah satu jawaban untuk menyingkirkan benalu tersebut yakni dengan menyambut era baru kepemimpinan kaum muda itu sendiri. Apa yang membuat manusia-manusia pembisik kekuasaan itu selalu eksis di lingkaran pemimpin-pemimpin tua, dikarenakan generasi tua adalah mereka yang sudah tergerus usia sehingga tenaga dan pikiran tidak cukup untuk mengemban tugas yang berat.
Itulah alasan mereka perlu orang-orang lihai dan picik untuk menyetel nahkoda kebijakan. Sayangnya, kepentingan dan orientasi mereka yang hanya ingin menguras rupiah membuat kepala daerah terkait sulit untuk menjinakkan mereka. Apalagi membuat mereka menjadi manusia-manusia yang baik.
Naasnya, orang-orang di lingkar kekuasaan ini akan selalu berjuang untuk terus menempel pada generasi tua berikutnya yang berkesempatan untuk kembali berkuasa. Harapan besar tentu ada pada semangat baru yang kini mulai menggelinding dari barat ke tengah, dan sebentar lagi akan mewujud di wilayah timur Indonesia.
Itulah era baru kepemimpinan. Hadirnya kaum muda yang visioner dan produktif diharapkan menjadi solusi dari berakhirnya rezim tua yang busuk bersama orang-orang berbahaya di sekelilingnya.